Kamis, 17 November 2011

Kebudayaan Materi dan Materialisme Budaya: Beberapa Prinsip Epistemologis

Oleh Jamal D. Rahman
Ontologi kebudayaan mengandaikan adanya tiga lapis kebudayaan, yaitu ideofakt, sosiofakt, dan artefakt. Ideofakt adalah ide dan nilai-nilai yang dianut suatu masyarakat, yang kemudian dikonkretkan secara sosial menjadi perilaku, konvensi, dan tradisi sebagai sosiofakt, dan selanjutnya dimaterialisasikan dalam artefakt sebagai produk material kebudayaan. Sementara itu, ada 7 elemen kebudayaan yang masing-masing mengandung ideofakt, sosiofakt, dan artifakt tersebut. Yaitu, bahasa, religi, seni, pengetahuan, organisasi sosial, kekerabatan, dan ekonomi. Semuanya itu dapat digambarkan secara lebih jelas sebagai lingkaran konsentris, dimana ideofakt merupakan sisi terdalam dan artefakt merupakan sisi terluar. Artefakt inilah yang kemudian disebuat kebudayaan materi (material culture), sementara dasar-dasar teoritis dan prinsip-prinsip epistemologisnya disebut materialisme budaya (cultural materialism), yang kemudian menjadi paradigma untuk penelitian antropologi dan ilmu-ilmu terkait.

Kebudayaan materi meliputi teks tertulis dan benda-benda yang memiliki makna terutama bagi komunitas pencipta dan pemiliknya. Oleh karena itu, menurut Ian Hodder, dalam mengkaji kebudayaan materi, paling tidak sampai batas tertentu dasar-dasar teoritis signifikasi teks tertulis (bahasa) dapat diterapkan pada benda-benda budaya lainnya. Bahwa bahasa bisa bekerja atau berfungsi secara sosial oleh karena adanya sistem bahasa yang diterima oleh suatu masyarakat, maka diandaikan bahwa kebudayaan materi pun memiliki makna atau fungsi sosial dalam batas-batas sistem simbolik yang dianut oleh suatu masyarakat. Sebagaimana bahasa merepresenasikan sesuatu, kebudayaan materi pun diandaikan merepresentasikan sesuatu pula. Demikianlah misalnya kata masjid mengandung arti sebagai tempat ibadah umat Islam dengan seluruh makna simbolik dan relijiusnya, dan bangunan masjid sebagai satu bentuk kebudayaan materi mengkomunikasikan sekaligus merepresentasikan makna simbolik, sakralitas, spiritualitas, dan fungsi sosio-relijius umat Islam.
Dalam kaitan ini maka memahami kebudayaan materi adalah memahami dan menafsirkan teks. Analog dengan bahasa, kebudayaan materi difahami dan ditafsirkan dalam konteks tertentu sesuai dengan kode budaya dan konvensi sosial yang berlaku. Mengkaji kebudayaan materi adalah menafsirkan kebudayaan materi itu sendiri dalam hubungannya dengan lingkungan sosialnya. Sebagaimana hubungan bahasa dan arti yang diacunya bersifat manasuka (arbitrer), maka hubungan kebudayaan materi dengan arti yang diacunya pun bersifat manasuka. Hubungan masjid —baik sebagai bahasa maupun kebudayaan materi (bangunan fisik)— dengan tempat ibadah umat Islam jelas bersifat atbitrer. Dalam pada itu, sebagaimana makna dalam bahasa, makna yang dikandung oleh jalinan internal struktur bangunan sebuah masjid membentuk arti sintagmatik, misalnya bahwa masjid itu mengekspresikan sakralitas dan spiritualitas Islam. Sementara makna yang terkandung dalam hubungan asosiatif antara masjid dengan dunia di luar masjid itu sendiri membentuk arti paradigmatik, misalnya bahwa arsitektur sebuah masjid diasosiasikan dengan negara tertentu.
Namun demikian, kebudayaan materi bagaimanapun jauh lebih kompleks tinimbang, dan tidak persis sama dengan bahasa. Perbedaan mendasar antara bahasa dan kebudayaan materi lainnya dalam konteks signifikasinya sebagai sistem simbol antara lain terletak dalam kenyataan bahwa, berbeda dengan bahasa, kebudayaan materi tidak selalu mengandung arti (meaning). Kebudayaan materi diciptakan seringkali untuk pertimbangan, fungsi, atau kebutuhan praktis. Dengan kata lain, sementara bahasa selalu mengandung kepentingan komunikasi dan representasi, dalam banyak hal kepentingan komunikasi dan representasi ini justru seringkali absen dalam kebudayaan materi. Orang memakai topi, misalnya, tidak selalu dalam rangka mengkomunikasikan dan merepresentasikan sesuatu, melainkan seringkali karena fungsi praktisnya dalam pengalaman individual orang itu sendiri.
Pada tataran itulah, dalam rangka mengembangkan teori kebudayaan materi, Ian Hodder segera menegaskan batas-batas bahasa sebagai kerangka untuk memahami kebudayaan materi. Perangkat-perangkat teoritis linguistik dengan demikian tidak selalu memadai untuk memahami kebudayaan materi.
Maka itu, Hodder mengajukan pentingnya membedakan dua cara dalam mengkaji kebudayaan materi dalam hubungannya dengan makna simbolik yang dikandungnya di balik kegunaan praktisnya. Yang pertama melalui jalan representasi; yang kedua melalui jalan praktis atau interkoneksi antara yang material dan nonmaterial. Jalan pertama berlaku untuk kebudayaan materi yang cara kerjanya sama dengan bahasa, seperti masjid yang telah dicontohkan di atas. Jalan kedua berlaku untuk kebudayaan materi yang cara kerjanya berbeda dengan bahasa, yaitu produk dari dunia praktis yang tidak mengorganisasi kode representasional tertentu, melainkan semata-mata mengorganisasi aktivitas dimana emosi, kesenangan, moral, dan hubungan sosial ambil bagian dalam kebiasaan sosial yang telah terterima (taken-for-granted).
Sebagai contoh, kalau saya orang Jepara, saya akan membangun rumah dengan menggunakan ukiran ala Jepara yang halus dan rumit itu. Dalam hal ini saya tidak bermaksud merepresentasikan sesuatu, melainkan semata karena kedekatan emosional saya dengan ukiran Jepara sekaligus mengikuti tradisi yang sudah berterima. Dalam konteks ini, rumah saya adalah dunia praktis (material) yang berhubungan dengan dunia nonmaterial, yaitu struktur sosial yang mendorong kesadaran saya untuk membangun rumah ala Jepara. Tetapi, rumah saya dengan semua ukirannya tidak saya maksudkan sebagai mengacu pada makna sebagaimana secara sosial dan tradisional dikandung struktur rumah ala Jepara, melainkan semata karena kesenangan atau motif emosional pribadi belaka —betapapun rumah tersebut pada akhirnya mengandung arti sosial dan simbolik.
Di sini terjadi dialektika antara struktur dan dunia praktis: struktur —yaitu hubungan-hubungan sosial saya— mendorong saya membangun rumah ala Jepara, tetapi saya membangun rumah ala Jepara tidak atas dasar makna simbolik dan sosial yang dikandung rumah Jepara itu sendiri, melainkan atas dasar pertimbangan dan kesenangan pribadi. Di satu sisi saya berada di dalam struktur, tetapi di sisi lain —yaitu pada tataran dunia praktis— saya keluar dari struktur. Karena dialektika antara struktur dan dunia praktis inilah, kata Hodder, tidak mudah menyusun kamus dan grammar kebanyakan kebudayaan materi.
Sampai di sini kita memasuki pertanyaan penting: di antara struktur dan dunia praktis, manakah yang lebih menentukan satu sama lain? Dirumuskan dalam cara lain, apakah ideokraft menentukan artefakt? Dengan menggunakan bahasa Marxian, apakah suprastruktur menentukan infrastruktur, ataukah sebaliknya? Perspektif materialisme budaya jelas: infrastruktur menentukan suprastruktur. Kembali ke contoh rumah ala Jepara tadi, dunia praktislah —yaitu tradisi rumah Jepara dengan segala ukirannya yang halus dan rumit— yang mendorong saya untuk membangun rumah ala rumah Jepara itu sendiri. Di sini jelas artefakt menentukan ideofakt, infrastruktur menentukan suprastruktur.
Namun demikian, prinsip-prinsip epistemologis materialisme budaya tentu saja tidak sesederhana itu. Mengikuti Marvin Harris, pertama-tama hal ini berkaitan dengan definisi tentang kebudayaan. Dalam materialisme budaya, kebudayaan tidak lagi didefinisikan secara sempit sebagai fenomena mental dan emik, dunia ide yang bisa diakses hanya melalui wacana yang saling berinteraksi antara kehidupkan etnografer dan kehidupan masyarakat yang diteliti. Kebudayaan, dalam pandangan materialisme budaya, merujuk pada repertoar-repertoar kegiatan dan pemikiran yang terbentuk secara sosial dan diasosiasikan dengan kelompok sosial atau populasi tertentu. Dengan demikian, elemen-elemen kebudayaan dibentuk atau diabstraksikan dari batuan dasar pemikiran dan perilaku individu yang berubah-ubah.
Sejurus dengan ini, maka dalam pandangan materialisme budaya, generalisasi tidak bisa digunakan. Partikularitas budaya yang tidak terbatas membuat generalisasi dalam kajian budaya jadi mustahil. Satu kesimpulan umum tentang suatu kebudayaan tidak selalu berlaku pada kebudayaan lain karena perbedaan-perbedaan mendasar antara keduanya dan perubahan-perubahan yang kadang berlangsung cepat di dalamnya. Dan lagi, berapa banyak bukti kebudayaan yang diperlukan untuk menggeneralisasi sebuah kesimpulan? Lima? Lima puluh? Tak ada kepastian dan kejelasan. Itu sebabnya, tak akan ada hukum budaya yang bersifat pasti dan tetap, sebagaimana hukum alam dalam ilmu fisika misalnya.
Dalam usaha mengembangkan teori materialisme budaya, Marvin Harris mengemukakan adanya infrastruktur, struktur, dan suprastruktur dalam sistem sosio-budaya berikut hubungan kompleks antara ketiganya. Materialisme budaya jelas menempatkan infrastruktur sebagai faktor determinatif dalam hubungannya dengan struktur dan suprastruktur. Tetapi Marvin menolak jika dengan pandangan ini materialisme budaya dipandang sebagai menggunakan prinsip teleologis, yaitu prinsip yang menafikan proses yang bersifat acak dalam evolusi budaya, atau bahwa evolusi budaya hanya ditentukan searah oleh infrastruktur sebagai satu-satunya faktor. Marvin Harris menegaskan, jika prinsip materialisme budaya ini akan disebut teleologis, itu hanya bisa diterima sejauh dalam pengertian terbatas dari evolusionisme Darwinian. Sebagaimana dalam biologi, kata Harris, dalam kebudayaan pun berlangsung inovasi dan seleksi (menerima atau menolak bentuk kebudayaan tertentu).
Dengan demikian, dalam pandangan materialisme budaya, infrastruktur, struktur, dan suprastruktur tidaklah sejajar dalam sistem sosio-budaya. Infrastruktur jelas lebih determinatif. Tetapi, ini tidak berarti bahwa infrastruktur bisa bekerja tanpa struktur dan suprastruktur. Mengatakan bahwa struktur dan suprastruktur tergantung pada infrastruktur tidak berarti mengatakan bahwa dalam proses kesinambungan dan perubahan kebudayaan, seleksi budaya hanya berlangsung dari infrastruktur ke suprastruktur. Sebaliknya, struktur dan suprastruktur secara aktif dapat memberikan kontribusi pada kesinambungan dan perubahan dalam infrastruktur sistem kebudayaan. Hanya saja, hal itu bisa berlangsung dalam batas-batas dan kemungkinan-kemungkinan yang inheren dalam lingkungan demografi, teknologi, ekonomi, dan lingkungan kebudayaan itu sendiri.
Munculnya gerakan feminisme dapat dijadikan contoh. Pandangan idealistik akan mengatakan bahwa feminisme digerakkan oleh suprastrutkur, yaitu kesadaran tentang adanya ketidakadilan dan ketimpangan gender dalam kebudayaan. Materialisme budaya membantah pandangan idealistik ini: feminisme justru digerakkan oleh infrastruktur, yaitu oleh produksi dan reproduksi secara massif gagasan feminisme itu sendiri lewat teknologi percetakan dan teknologi informasi (radio, televisi, internet, dll.). Perkembangan teknologi telah memungkinkan pelibatgandaan dan pengerasan suara feminisme secara massif ke seluruh penjuru, melampau batas-batas ruang dan waktu sebelumnya. Dengan cara itu, sosialisasi pandangan tentang ketidakadilan dan ketimpangan gender dimungkinkan, sehingga muncullah gagasan dan gerakan feminisme. Namun demikian, adalah jelas bahwa gagasan dan gerakan feminisme akhirnya memberikan umpan balik pada transformasi infrastruktural. Munculnya organisasi-organisasi sosial yang mendedikasikan dirinya pada perjuangan feminisme, berikut jaringan sosial dan produk (aktivitas) yang dihasilkannya, adalah contohnya yang nyata.
Dengan demikian, meskipun menempatkan infrastruktur sebagai faktor determinatif, materialisme budaya memandang bahwa hubungan determinatif antara infrastruktur, struktur, dan suprastrutkur sesungguhnya bersifat dialektis. Pola hubungan itu tidak searah, melainkan dua arah dan bahkan saling tergantung satu sama lain. Dengan dialektika hubungan ini, jelaslah bahwa materialisme budaya tidak menafikan peranan struktur dan suprastruktur dalam menjaga kesinambungan, menggerakkan perubahan, dan mewujudkan transformasi kebudayaan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar